DINAMIKA PEMBENTUKAN KABINET MERAH PUTIH DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE: ZAKEN KABINET VS KABINET PRAGMATIS
Keywords:
Hak Prerogatif, Presiden, Kabinet, Good GovernanceAbstract
Menteri-menteri negara merupakan pembantu Presiden yang pengangkatan dan pemberhentiannya menjadi hak prerogatif Presiden, artinya dalam menentukan menterinya, Presiden diberikan kewenangan khusus untuk mengambil keputusan atau tindakan tertentu (menentukan menteri) tanpa harus mendapat persetujuan dari lembaga atau pihak lain, hal ini sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 17 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bagi suatu negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum seperti Indonesia, salah satu upaya dalam mewujudkan good governance seharusnya melalui pendekatan meritokrasi (merit system), dimana sistem politik yang berlaku memberikan kesempatan kepada siapapun untuk bekerja berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan atas dasar keluarga, kekayaan, atau latar belakang sosial. Faktanya, Presiden tidak sepenuhnya otonom dalam menyusun atau membentuk kabinetnya, ada campur tangan ketua umum partai politik. Muncul pro dan kontra dikalangan masyarakat, salah satunya berkaitan dengan pendekatan yang dipergunakan oleh presiden dalam membentuk kabinetnya, apakah menggunakan pendekatan meritokrasi untuk menciptakan zaken kabinet atau menggunakan pendekatan politis dalam arti lobi-lobi politik sebagai solusi pragmatis. Metode penelitian yang digunakan ialah penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, teori, asas, dan pendekatan konseptual. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini dirumuskan dua permasalahan yang akan dibahas, yaitu bagaimanakah dinamika pembentukan kabinet merah putih dalam mewujudkan good governance; dan bagaimanakah konsep pembentukan kabinet dalam mewujudkan good governance. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukan bahwa Pertama, Pembentukan Kabinet Merah Putih menimbulkan polemik yang salah satunya disebabkan oleh postur atau struktur kabinetnya yang besar atau “gemuk”. Hal ini menimbulkan persoalan diantaranya dari sisi akomodasi politik, ketersediaan anggaran, efektivitas, efisiensi dan penyusunan atau pelaksanaan kebijakan. Kedua, Pembentukan kabinet yang efektif dan mendukung good governance memerlukan pendekatan yang holistik dan partisipatif. Dengan memperhatikan kriteria pemilihan, proses pembentukan, postur atau struktur dan fungsi, serta akuntabilitas.


